Aahh… Alhamdulillah… kuhempas napas besar. Lega yang luar biasa, namun, juga deg-degan yang belum sempat kuterjemahkan, takutkah atau excited. Setidaknya lega, karena kami, aku dan Thoriq, sudah melewati 22 jam perjalanan udara. Dari Singapura, transit di Tokyo kemudian Hawaii, nyaris satu hari kami hanya melihat birunya langit dan putihnya awan. Sesekali hentakan terasa saat badan pesawat menabrak gumpalan mega. Sejauh melepaskan pandang ke bawah, hanya benda-benda kecil yang kadang terlihat, selebihnya hanya bisa direka, apa itu, tidak jelas.

Minggu, 2 Agustus 1987, kami tiba di Amerika. Mendarat dengan mulus di Los Angeles International Airport atau lebih dikenal dengan LAX. Yang terbayang di pikiranku tentang Amerika itu keren. Seperti dalam film-film yang sering kutonton di bioskop dan serial TV seperti Knight Rider, The A-Team, The Cosby Show, dan tentu saja The Chip. Tingkah laku orang-orang negro dengan gaya bicaranya yang kocak, ah… andai saja aku paham tentu lebih asyik lagi. Memang salah satu targetku datang ke negeri ini adalah menguasai bahasanya dan indikatornya adalah dialog dalam mimpiku sudah english!!!

Dari sisi jendela pesawat aku memandang setengah tak percaya, akhirnya aku sampai di negeri Uncle Sam. Kukemasi barang-barang dari kabin pesawat yang berada tepat di atas kepala para penumpang saat pengumuman pintu pesawat telah dibuka.

“Hei… Thoriq, ayoo bangun… kita sudah sampai…” seruku pada Thoriq sepupuku yang terlihat berleha-leha menguap lebar sambil meregangkan tubuhnya.

Dengan penuh semangat aku berjalan menuruni tangga pesawat menuju tempat pengambilan bagasi. Di sepanjang jalan itu kulihat orang lalu lalang sibuk membawa koper-koper besar. Suara petugas mengumumkan berbagai jenis pesawat dan penerbangannya sekilas tidak ada bedanya dengan bandara-bandara lain yang pernah kusinggahi. Hanya mungkin suasana yang kurasakan di sini lebih berbeda. Sepertinya aku sedang menonton film dengan speed 2x, gerakan tubuh maupun kecepatan bicara berbeda, terlihat sibuk sekali. Ukuran tubuh mereka, baik orang-orang berkulit hitam maupun putih, memaksa kita mendongakkan kepala ketika berbicara dengan mereka. Asing… itulah aroma yang tercium, aku benar-benar sedang berada di negeri asing, berbeda ketika aku mendarat di Bandara Changi Singapura ataupun Narita Tokyo, yang suasananya tidak terlalu jauh berbeda dengan Soekarno-Hatta.

“Ayo…” suara ajakan Thoriq membuyarkan lamunanku. Ternyata Thoriq siap dengan kopernya dan di sebelahnya sudah ada tas karet ukuran sedang milikku. Untuk pertama kalinya di bibirku tersungging senyum tipis, “alhamdulillah… anak ini ternyata punya inisiatif,” gumamku perlahan. Mengingat segala atribut negatif yang dimilikinya, terbersit rasa syukur akan keberadaannya denganku saat ini, at least I am not alone.

Tidak banyak barang-barang yang kubawa. Dalam tas karetku hanya ada lima pasang baju dan beberapa keperluan kecil lainnya. Segera kuambil tas itu dan berjalan menuju custom imigrasi. Inilah saat mendebarkan pertama yang harus aku hadapi, akankah mereka percaya bahwa kami adalah turis dari Indonesia yang akan melihat keindahan negerinya? Atau dengan mudah mereka akan menebak bahwa kami hanyalah dua anak muda yang akan mencari kerja di negeri mereka dengan visa masuk sebagai turis?

Yang tertera dalam pasporku hanyalah entry permit yang diberikan oleh kedutaan Amerika di Jakarta, sedangkan visa turis yang sesungguhnya akan ditentukan oleh petugas imigrasi yang segera harus kuhadapi. Kusisir pandanganku ke deretan petugas imigrasi, aku harus memilih petugas yang terlihat baik dan ramah. Sial… ternyata hanya ada satu antrian, dan pengunjung akan mendapatkan petugas secara acak. Jantungku semakin berdegup; ini artinya aku dan Thoriq akan dilayani oleh petugas yang berbeda. Bagaimana dengan Thoriq? Dia kan tidak bisa berbahasa Inggris? Apa yang akan dia katakan? Akhirnya kuputuskan memberi kursus kilat kepada Thoriq. Apa pun yang ditanyakan oleh petugas, cukup jawab dengan “No English”.

Kuputuskan agar Thoriq berada di depanku agar dia dipanggil lebih dulu dan aku dapat membantunya bila perlu.

“Next please!” petugas memanggil antrian yang jatuh pada giliran Thoriq. Aku pun mendorong Thoriq sambil berpesan: “Bismillah Riq.” Baru beberapa langkah Thoriq beranjak “Next Please !” Aku pun dipanggil.

“Your passport please,” seorang wanita tinggi besar berkulit hitam pertama yang kulihat dari jarak sedekat ini. Wow!!! kehitaman kulitnya ternyata tidak bisa terekam dengan sempurna dalam film-film yang pernah kulihat di Indonesia. Hitam yang mendekati ungu, tapi terlihat bersih sekali, rupanya inilah yang disebut hitam manis yang sesungguhnya.

“What is the purpose of your visit, dear,” wow lagi!!! Ngomong apa dia, cepat banget, dan aksennya itu lho, asli Afro American.

“I beg your pardon,” aku memintanya untuk mengulangi pertanyaan.

“What… is… your… purpose… of… your visit… dear?” Ulang si Afro dengan memperlambat bicaranya. Rupanya dia mengetahui permasalahanku.

“I wanna see America Mam,” jawabku sambil berakting excited.

“What do you wanna see?”

“Disneyland, Holywood… emm Golden gate at San Francisco, Las Vegas.”

“Hmm… Beautiful places, and how much money do you carry with you dear,” masih dengan perlahan si Afro bertanya.

“One thousand and nine hundred dollars Mam,” sambil dengan sigap mengeluarkan segepok uang yang memang sengaja kusimpan di saku celana.

“No… no… no need dear,” si Afro menyuruhku memasukkan kembali uang yang tadinya akan kuserahkan padanya.

“Where are you staying dear,” selidik si Afro. Kusebutkan nama hotel yang kudapat dari buku Travel guide yang aku beli di Changi Airport Singapore. Wuiiih… ternyata buku travel guide yang kubeli dengan iseng ketika menunggu boarding, sangat membantu.

“And how long are you planning to stay in The United States dear,” si Afro kembali bertanya dengan selalu menyisipkan kata “dear” di belakangnya, mungkin karena aku ceking dan imut dibanding kebanyakan orang Amerika, beratku cuma 52 kg dengan ukuran celana 27.

“Ten days Mam.”

Setelah memberi stempel entah apa di paspor, dia mengembalikan paspor sambil mengucapkan kalimat yang terasa merdu sekali di telingaku, “Enjoy your trip dear.”

Aku berdiri dengan harap cemas menunggu Thoriq yang terlihat sedang diperiksa oleh dua petugas imigrasi. Thoriq terlihat rileks dan tenang, memang itu kelebihan anak ini… so cool.

Tak lama kemudian terlihat Thoriq menghampiriku masih dengan ekspresi biasa-biasa saja, “beres” katanya. “Tadi ada petugas asal Malaysia yang dipanggil untuk membantu menerjemahkan,” tambahnya.

Kami berjalan menuju pintu exit, nampak kerumunan orang yang sedang menunggu di pintu arrival. Sesekali kami melihat orang berlari menyambut penumpang yang berjalan beriringan dengan kami, pelukan dan ciuman mesra di bibir sempat membuat aku melirik, adegan ini hanya pernah aku saksikan dalam film-film, bercumbu di depan umum, tiba-tiba tercium kembali aroma “asing” tadi.

Sesampai di luar gedung airport, nampak padat kesibukan kendaraan yang lalu-lalang menjemput dan menaikkan penumpang, rupanya kami mendarat pada jam-jam sibuk. “Naik apa kita,” tanya Thoriq ketika melihat orang-orang lain segera menuju kendaraan tumpangan sementara saya terlihat berdiri diam. “Ya ampun Thoriq,” gumamku dalam hati; aku ini lagi bingung, dari sini kita mau ke mana ya, tidak ada tempat yang dituju. “Sebentar,” jawabku setenang mungkin, agar rasa takut yang mulai menyelinap tak terendus olehnya. Kembali kukeluarkan Travel Guide sambil mengajak Thoriq duduk. Lembar demi lembar kubalik demi mencari tempat penginapan termurah yang ada dalam buku itu.

Aha… ini dia $5 per orang di YMCA, lokasi di Sepulveda Boulevard. Kuhampiri seorang kulit putih untuk menanyakan alamat YMCA, sengaja aku pilih orang kulit putih dengan harapan bahasanya lebih mudah dimengerti.

“Excuse me sir; can you tell me how do I get to this address,” tanyaku sambil tetap bersikap lugu dan imut. Pria itu mengernyitkan dahi sejenak kemudian menjawab: “I’m not sure exactly but Sepulveda is just outside the airport, just take that shuttle bus,” sambil menunjuk sebuah mini bus biru yang sedang menaikkan penumpang. “Thank you sir,” balasku sambil langsung mengajak Thoriq menaiki shuttle bus itu.

Ternyata bus itu hanya membawa kami keluar airport saja, dan kami diturunkan di sebuah halte bus. Sempat aku tersipu ketika bertanya kepada salah satu penumpang berapa ongkos bis ini, “It’s free dude,” jawabnya. Untungnya halte itu berada di Sepulveda Boulevard jadi akhirnya saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju YMCA. Hemat, aku wajib menghemat setiap cent yang bisa dihemat, Abah hanya memberi bekal $400 untuk bekal petualanganku ini. Sedangkan uang yang $1500 hanyalah uang pinjaman yang harus kukembalikan untuk meyakinkan petugas imigrasi tadi bahwa aku turis yang punya bekal cukup.

Tak terbersit sedikit pun waktu itu untuk meminta agar bekal uangku ditambah, aku yakin sekali itulah kemampuan terbaik ayahku. Kalaupun ayahku mampu pasti dia akan memberiku lebih bahkan akan langsung membiayaiku untuk sekolah di sana.

Yah… Aku ingin sekolah di luar negeri, karena aku ingin jadi orang berilmu yang punya nilai jual tinggi. Dan itu hanya bisa tercapai dengan kuliah di Universitas Negeri atau Universitas di luar Negeri.

Aku gagal UMPTN, jadi hanya ada satu pilihan lagi, luar negeri.

Tak terasa sudah hampir satu jam kami berjalan menyusuri Sepulveda Boulevard sambil mencari-cari alamat yang dituju. Di kiri kanan jalan tak terlihat toko atau tempat usaha, yang nampak hanyalah rumah-rumah yang entah berpenghuni atau kosong, yang jelas kami tidak melihat orang di sekitar rumah tersebut. “Kok Amerika sepi begini sih,” gumamku dalam hati. Kepenatan 22 jam di pesawat masih terasa dan tentu saja kurang tidur memaksa kami untuk berjalan dengan gontai. Udara summer yang cukup menyengat melengkapi kelelahan kami dengan rasa haus; untung saja kami melewati sebuah gas station yang rupanya di Amerika ini lengkap, menjual bahan bakar untuk mobil dan juga bahan bakar untuk manusia, maksudku ada mini market di dalamnya. Kupilih minuman yang harganya paling bersahabat. Sang kasir, yang rupanya orang India, sempat memintaku untuk membayar dengan pecahan yang lebih kecil, tapi rupanya dia pun memaklumi bahwa kami adalah turis, akhirnya mengambil pecahan $50 dari tanganku. Memang kami hanya dibekali pecahan $100 dan $50 waktu itu.

Ah sebaiknya kutanyakan lagi alamat ini kepada seseorang, kuhampiri seorang nenek tua yang sedang menunggu bis di halte. Kenapa nenek tua, logika singkatnya “lebih aman.” “Excuse me Mam, can you tell me how to get to this address please?” Tanyaku sopan sambil menunjukkan alamat yang ada dalam buku.” “Let me see,” jawab si nenek sambil mengeluarkan kacamatanya, “just get on the bus here, it’ll take you there…” “Can we walk there,” tambahku menyelidik. “I am afraid it’s too far dear, it would take two or three hours, it’s about fifteen miles from here.” Apa??? Dua atau tiga jam lagi… no way, rasanya lima menit lagi pun kami takkan tahan. Belakangan kuketahui bahwa Sepulveda Boulevard adalah salah satu jalan terpanjang di USA yang membentang hingga 42.8 miles atau 69 km, hmmmm… lebih jauh dari jarak Bogor-Jakarta.

Kuputuskan untuk naik bis, kucoba merogoh uang di saku untuk ongkos bis, sambil menghitung-hitung uang kembali ketika tadi membeli minuman di airport. “It’s a dollar twenty,” seolah nenek tadi ini tahu apa yang sedang kupikirkan, ia pun membantuku memilah-milah uang receh hingga cukup jumlahnya. Oohhh rupanya 1 dolar dan 20 sen. Tak lama kemudian bis datang, sengaja kubiarkan tiga penumpang menaiki bis terlebih dahulu; sssss… suara pintu terbuka secara otomatis, penumpang naik dan memasukkan uang dalam sebuah kotak besi di sebelah supir bis, ternyata kotak itu secara otomatis dapat menghitung uang yang dimasukkan penumpang, oohhh gitu lho caranya, cepat-cepat kuberikan “a dollar twenty” kepada Thoriq yang ada di belakangku.

Kami duduk di belakang nenek tadi sambil berpesan untuk memberitahu di mana kami harus turun.

Kurang lebih lima belas menit kami di bis, si nenek berdiri. “I am getting off here, you get off at the next bus stop, okay dear!!!”

“Thank you mam,” jawabku dengan tatapan tulus, si nenek tersenyum, “have a good day.” Aku hanya bisa tersenyum tanpa bisa merespon apa yang dikatakannya. First day in the USA, belum begitu mengenal budaya mereka.

Kami turun di halte berikutnya; setelah berjalan beberapa puluh meter sampailah kami di sebuah gedung dengan sign besar terpampang YMCA. Rupanya tempat yang kami tuju adalah sebuah aula milik Youth Male Christian Association, yang ketika malam hari para turis miskin macam kami dapat bermalam di aula dengan sebuah kasur lipat yang disewakan. Ada beberapa turis bule yang juga menunggu di ruang receptionist, alhamdulillah harga yang berlaku sesuai dengan yang tercantum di buku, masih $5, aku membayar untuk satu malam saja, kemudian resepsionis mempersilakanku kembali menunggu. Tak lama kemudian kami dipersilakan masuk; aku dan Thoriq bergantian mandi, seharian di pesawat membuat badan kami lusuh. Mandi membuat badan ini fresh, tinggal satu hal lagi yang harus aku lakukan sebelum bisa beristirahat, yaitu salat. Kutebar pandangan ke sekeliling aula untuk mencari tempat salat, kuputusan untuk salat di gudang tempat mengambil kasur tadi. Tapi ke mana aku harus menghadap, hari sudah gelap, tak bisa memakai patokan matahari untuk menentukan kiblat, Aku mencoba mengingat arah matahari ketika menunggu bis di halte tadi, kalau tidak salah, punggungku yang kena sinar matahari sehingga akhirnya kuputuskan untuk mengarah ke posisi matahari senja tadi. Aku salat magrib dan isya sekaligus mengambil keringanan sebagai musafir, lagian aku tak tahu jam berapa waktu isya di sini. Setelah salat kami pun merebahkan diri di kasur lipat. Bendera Amerika, Star and Stripe yang terpampang di sudut aula seperti menegaskan keberadaanku yang sudah ribuan kilometer dari tanah airku. Sebenarnya memang kepergianku ke Amerika ini sama sekali tidak direncanakan, waktu itu aku dan sahabatku sedang berusaha mendapatkan Visa untuk masuk Australia; setelah mencoba bermacam cara dan gagal, ada seorang yang menawarkan jasa untuk mengurus. Memang waktu itu negara Australia sangat sulit untuk ditembus sehingga dibuat strategi untuk mengajukan Visa Amerika terlebih dahulu karena waktu itu Amerika bukanlah tujuan orang-orang Indonesia yang ingin mengadu nasib, jadi diperhitungkan akan lebih mudah mendapatkan Visa Tourist dari kedutaan Amerika. Dan diperhitungkan pula setelah di paspor kami sudah terdapat Visa Amerika, maka akan memperbesar kemungkinan utuk mendapatkan Visa Australia.

Perhitungan pertama terbukti benar, Visa Amerika didapat tanpa kesulitan, namun perhitungan kedua meleset!!! Tetap saja Kedutaan Australia enggan memberikan Visa kepada kami berdua. Karena semua jalan untuk mendapatkan Visa Australia sudah tertutup, aku mengusulkan pada temanku untuk ke Amerika saja, toh Visanya sudah ada di tangan. Dia setuju namun ada satu persoalan yang berat, kami berdua tidak memiliki kenalan apalagi kerabat yang tinggal di sana. Kami pun akhirnya kasak-kusuk mencari orang yang bisa kami tuju di Amerika, siapa pun!!! Yang penting ada yang dituju.

Dua minggu sudah kami mencari orang yang dapat kami tuju, namun tak satu pun dari kami yang berhasil. Keinginanku untuk berangkat malah semakin menggebu-gebu, rasanya sudah tak tertahankan, aku harus berangkat walaupun tak ada orang atau tempat yang dituju. Ketika hal ini kusampaikan pada sahabatku, pada mulanya dia setuju, namun seminggu menjelang keberangkatan dia berubah pikiran. “Gak ada siapa-siapa di sana,” kilahnya. “Gua gak berani.”

Aku jawab dengan mantap waktu itu. “Di sana ada Allah, Allah yang akan menolong kita.” Tapi apa yang kukatakan tidak mengubah keputusannya. Pada saat salat tadi aku mencoba memanggil Allah, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepadaMu aku menyembah dan hanya kepadaMu aku memohon pertolongan),” kubaca ayat itu dalam setiap rakaat dengan khusyuk.

Pikiranku menerawang menembus langit-langit aula yang tinggi. Kembali aku memanggil Sang Maha Pendengar:

Wahai pencipta langit dan bumi,

Bumi yang kami singgahi kali ini,

Terasa asing dan sunyi

Tak ada teman, tak ada kerabat di sini

Engkaulah ya Rabbi tumpuan kami

Bila Engkau biarkan kami sendiri

Pastilah bencana tak terhindari

Kami tak tahu ke mana harus membawa diri

Kecuali dengan bimbinganMu ya Rabbi

Ya Rabbi bimbinglah kami…

Amin, ya Rabbal alamin

Entah lelap karena lelah atau apa, malam seperti cepat berlalu. Tiba-tiba kami dibangunkan oleh suara bel sekolah, waktu menunjukkan pukul 5.30 pagi, kutengok jendela, alhamdulillah!!! Sinar matahari belum muncul, cepat-cepat kubangunkan Thoriq, “Riq ayo salat subuh,” bisikku di telinganya, “hhhmmmmm… “ jawabnya tanpa membuka mata. “Kita harus segera keluar dari sini,” rupanya kalimat kedua lebih efektif untuk membangunkannya. Segera setelah mandi dan salat, kami menuju receptionist untuk membayar. Sementara menunggu, saya melihat peta yang terpasang di dinding dengan sebuah tanda panah menunjuk “you are here!” dan di situ tertera Culver City. Ternyata kami belum sampai ke LA, langsung kutanyakan bis yang menuju LA kepada receptionist. “You see that bus stop over there,” sambil menunjuk keluar, “get on the bus there,” lanjutnya.

“Lapar gak Riq,” tanyaku sambil berjalan keluar, “yuk kita makan dulu, kalo gak salah sebelah gedung ini ada kedai hamburger,” sambungku. Kami duduk di kedai setelah memesan dua hamburger dengan harga yang jika dirupiahkan bisa membawa makan satu keluarga ke restoran Padang.

Masya Allah… Hamburger yang tersaji hampir tiga kali lipat ukuran hamburger yang pernah kusantap di Indonesia, Thoriq membuka kedua rahangnya seperti seekor kuda nil yang sedang menguap, ah… tetap saja hamburger itu terlalu besar untuk mulut kami. Tawa kami menarik perhatian pramusaji yang sedang lewat. Dia pun tersenyum sambil memberi isyarat pada kami agar menekan hamburgernya agar kempis sehingga bisa muat di mulut kami. “Dasar orang udik,” gumamku tersenyum pada Thoriq yang sedang mengunyah hamburger dengan lahap.

Perut terisi, kami pun berjalan menuju Bus Stop, kupungut sebuah tabloid yang tercecer di trotoar jalan, kubolak-balik sambil jalan mencari-cari kolom Job vacant. Astagfirullah… Apa ini??? Seorang pria mengiklankan “kejantanannya” lengkap dengan dimensi panjang dan diameternya. Rasa ngeri menyusup di dadaku… Sanggupkah aku dan Thoriq menghadapi kebebasan yang seolah tak terbatas ini? You can do anything you want!!! Absolutly anything, apalagi kami sekarang jauh dari orangtua atau siapa pun yang kami kenal. Tidak ada yang akan mengingatkan jika kami secara sengaja maupun tidak berbuat kemaksiatan yang nampak marak negeri ini. Tiba-tiba kembali terngiang sebuah kalimat yang amat berarti bagiku, “DI SINI ADA ALLAH”. Allah yang akan menjaga kami. Sebuah prasangka baik kepada Allah yang aku doktrinkan pada diriku sendiri karena aku yakin Allah akan melakukan apa yang dipersangkakan hambaNya.

Aku sesuai dengan persangkaan hamba padaKu,” begitu bunyi sebuah hadis Qudsi yang pernah aku dengar pada sebuah pengajian bulan Ramadan.

Aku dan Thoriq duduk membisu menunggu bus yang akan membawa kami ke LA. Aku dan dia memang tidak terlalu akrab, dia sebaya dengan adikku yang keempat, dia baru berusia sembilan belas tahun waktu itu sedangkan aku sudah menginjak usia duapuluh tiga tahun.

Bus yang kami tunggu tak lama datang. Sambil menaiki bis, kukeluarkan uang kertas $10, “for two,” kataku sambil menunjuk ke arah Thoriq, si driver sedikit kesal, dia bilang hanya $2.40 untuk kalian berdua. ”Sana kamu tukarkan dulu ke penumpang lain,” perintahnya. Pintu bis secara otomatis tertutup, kami pun bergegas ke arah belakang. Aku menyuruh Thoriq duduk sementara aku berusaha mencari tukaran uang. Kuhampiri seorang wanita paruh baya, wajahnya mengingatkanku pada wajah-wajah orang Indian yang sering aku lihat di film koboy. “May I have a small change please,” pintaku sopan. “No entiendo Inglés, hablas español,” wah ngomong apa dia nih. Kutunjukkan uang $10 sambil berkata: “small change?” Ia menggelengkan kepalanya sambil menatapku dari atas sampai bawah dengan sorotan mata yang kurang bersahabat. Aku mendapat gelengan kepala dari tiga orang berikutnya yang kebetulan berparas serupa. Rupanya kebanyakan penumpang adalah imigran dari Mexico. Dan mereka menyangka aku dan Thoriq adalah Chicano yaitu orang-orang Mexico kelahiran Amerika yang tidak mau berbicara bahasa ibu mereka atau bahasa Spanyol. LA sering disebut mempunyai populasi orang Meksiko terbesar di luar Meksiko dan mempunyai populasi yang berbahasa Spanyol terbesar di luar Amerika Latin dan negara Spanyol. Dengan hanya berbekal bahasa Spanyol orang bisa hidup di LA. Memang kalau harus dikelompokkan, aku dan Thoriq dengan warna kulit dan tampang seperti ini, cocok menjadi orang hispanik (Amerika Latin).

Akhirnya aku mendapatkan uang receh dari salah satu penumpang yang mungkin merasa iba melihat aku dipingpong ke sana ke mari. Ketika kumasukkan uang ke dalam kotak sambil bertanya kepada sang driver: “this bus is going to LA, right?” “em… em,” jawabnya sambil menggelengkan kepalanya, “Pada bus stop yang berikut, kamu turun dan tunggu bis no. 108 yang akan membawamu ke LA,” sambungnya.

Cheessss… Suara kompresor rem angin dari bis kami ketika berhenti di sebuah halte tanpa ada pelindung panasnya. Tuas rem yang ditarik sopir memberi tanda bahwa kami harus turun. “You have to get off here and get on the bus number 108, ok?” “Okay sir, thank you,” jawabku sambil menuju pintu keluar yang otomatis terbuka.

Tak ada orang lain di halte kecuali kami, kursi tunggu pun tak tersedia di halte itu, Thoriq berinisiatif duduk di atas kopernya, sementara aku berdiri di sampingnya.

Kupandangi bis yang meninggalkan kami sampai menghilang di tikungan, seolah tak rela ditelantarkan begitu saja.

“Kenapa turun di sini?” tanya Thoriq merasa heran karena tak satu pun terlihat manusia lain bahkan binatang di sekeliling mata memandang. Kami seperti berada di kota mati, berdebu, tak ada satu pun orang lewat. Bila di jalanan ini terdapat gumpalan ilalang menggelinding diterpa angin persis dalam film-film koboy, pasti terdengar suaranya, saking sepinya.

Sepanjang mata kusapukan, aku melihat hanya rumah-rumah besar tanpa satu pun penghuni terlihat di dalamnya, bahkan tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah-rumah tadi. Sesekali nampak melintas kendaraan pribadi dengan kecepatan tinggi seolah ingin cepat meninggalkan daerah ini. Mataku lebih sering melihat ke arah tikungan dan berharap kendaraan selanjutnya yang muncul adalah bis 108 yang akan membawa kami ke LA.

Aku merasa sangat tidak nyaman. Mana bis itu, kok lama sekali. Rasa takut yang sangat besar tiba-tiba menyelusup dalam hati. Aku merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Aroma “asing” kali ini tercium me­nyengat.

Goblok!!! Kenapa aku nekad datang ke negeri asing ini! Kenapa tidak pernah terlintas sebelumnya aku akan terdampar di tempat seperti ini, tak tahu di mana dan harus ke mana. Ya… pada hari kedua kami di Amerika, aku menyesal setengah mati telah datang ke sini. Ingin rasanya memejamkan mata berharap ketika kubuka, aku sudah berada di teras rumahku di Bogor. Aku mau pulang, aku mau pulang,” jeritku dalam hati.

Beli Sekarang